Friday, 27 March 2015

'Dark Side of the Moon', Sebuah Konsep Album dan Magnum Opus

Sampul album Dark Side of the Moon
MUSICOLOGY - Mengapa kita harus mendengarkan konsep album yang diusung band psychedelic rock, Pink floyd, dalam 'Dark Side of the Moon'? Mungkin pertanyaan itu pernah terbersit di benak para penikmat musik--yang belum mengenal Pink Floyd--begitu melihat album dengan sampul prisma pembias cahaya berlatar belakang hitam tersebut.

Nah, banyak alasan yang bisa dilontarkan. Salah satunya adalah pencapaian album tersebut--dalam bentuk angka--yang sangat menakjubkan. Bayangkan, album yang tercatat menembus angka penjualan sebanyak 50 juta kopi itu, memuncaki tangga lagu Billboard selama sepekan. Hebatnya lagi, album ini bertahan di tangga lagu Billboard selama 741 pekan dari tahun 1973 hingga 1968. Wow!

Hal lainnya, seperti dilansir laman Ultimate Classic Rock, 'Dark Side of the Moon' merupakan sebuah album konsep yang terbilang jenius dengan tema yang sarat nilai filosofis sehingga sampai kekinian, didapuk sebagai salah satu album terbaik sepanjang masa. Nah, apa yang dimaksud album konsep? Album seperti ini sejatinya sudah pernah dilakukan oleh sejumlah band rock.

Sebut saja, The Who dengan album 'Tommy', The Moody Blues dengan album 'Days of Future Past', Frank Zappa and The Mothers of Invention dengan album 'Freak Out!' , The Beatles dengan album monumental 'Sgt Peppers Lonely Hearts Club Band', dan The Beach Boys dengan album legendaris mereka, 'Pet Sounds.'

Dalam album konsep, biasanya album tersebut memiliki sejumlah lagu dengan karakter berbeda, namun memiliki tema yang sama. Contohnya, album 'Tommy' yang bercerita tentang pencarian jati diri seorang pemuda difabel bernama Tommy, atau album 'Pet Sound' yang berisi pemikiran pentolan The Beach Boys, Brian Wilson.

'Dark Side of the Moon' dibuat berdasarkan eksperimen Pink Floyd di penampilan live ataupun sesi rekaman mereka. Eksperimen ini sebagai wujud kegalauan para personel Pink Floyd. Maklum, mereka 'kehilangan arah' dan sentuhan psychedelic-nya serta diprediksi tak akan bertahan lama usai ditinggal inspirator dan pentolan Pink Floyd, Syd Barret, yang mengalami kelainan jiwa.

Nah, album Meddle yang dirilis pada 1971 menjadi titik balik kebangkitan jati diri band yang beranggotakan David Gilmour (gitar, vokal), Roger Waters (bass, vokal), Nick Mason (drum) dan Richard Wright (kibor, vokal) ini. Kegemilangan mereka mencapai titik klimaksnya ketika album 'Dark Side of the Moon' dirilis.

Album 'Dark Side of the Moon' memotret sejumlah 'godaan' duniawi dan elemen penting dalam kehidupan manusia. Tema lirik dalam album tersebut meliputi konflik, ketamakan, waktu, kematian dan kegilaan.  Tema terakhir ini mewakili kegilaan Barret yang pernah menjadi komposer, inspirator, dan penulis lirik untuk Pink Floyd. Album ini pun disebut menggunakan musikalitas, konsep dan filosofi lirik yang kelak ditemukan di karya-karya lain Pink floyd.

Tiap sisi dari album 'Dark Side of the Moon' tersebut memiliki lagu-lagu yang saling berkaitan. Lima lagu di sisi pertama menggambarkan fase kehidupan manusia. Lagu dimulai dan diakhiri dengan suara degup jantung. Mereka berupaya mengeksplorasi alam kesadaran manusia, dan empati terhadap sejumlah hal.

SPEAK TO ME/BREATHE

Lagu pertama diawali dengan 'Speak to Me' dan 'Breathe'. Lagu ini mengangkat masalah duniawi dan sia-sia yang kelak bisa membuat manusia gila serta pentingnya bagi seseorang untuk menjalani kehidupannya sendiri. "Don't be afraid to care (jangan takut untuk peduli)," seperti dikutip dari lirik lagu tersebut. Lagu ini dinyanyikan oleh Gilmour. Di lagu ini, Gilmour memainkan gitar lap steel.

'Speak to Me/Breathe' menjadi lagu pembuka dalam reuni mereka di konser amal Live 8 di London, Inggris, pada Juli 2005. Ini merupakan lagu pertama yang mereka mainkan bersama selama 24 tahun terakhir sejak vakum. Maklum, line-up asli Pink Floyd ini kali terakhir menggelar konser yakni di Earl's Court, London, pada 17 Juni 1981.

ON THE RUN

Kemudian, dilanjutkan dengan lagu 'On the Run'. Di lagu ini, pendengar diajak untuk tergesa-gesa. Terdengar, suasana seperti di airport yang diciptakan dengan manipulasi suara dari synthesizer. 'On the Run' menggambarkan ketegangan dan kemasygulan moda perjalanan modern, khususnya phobia terbang yang dialami Wright. Hanya instrumen yang bermain di lagu ini.

TIME

Selanjutnya, lagu 'Time' yang mengisahkan bagaimana waktu bisa mengendalikan kehidupan seseorang dan memberikan peringatakan keras kepada orang yang masih mementingkan aspek duniawi. Lalu, disambung dengan nuansa kesendirian seolah menarik diri dari masyarakat dalam lagu 'Breathe (Reprise)'.

Lagu ini dinyanyikan oleh Gilmour dengan suaranya yang garang pada verse dan diikuti dengan kelembutan suara Wright di bagian chorus. Ada pula selipan suara biduanita sebagai vokalis latar. 'Time' menjadi satu dari dua lagu di album tersebut yang dirilis sebagai single--yang satunya lagi adalah 'Money.'

THE GREAT GIG IN THE SKY

Sisi pertama 'Dark Side of the Moon' ditutup dengan duet Wright dan vokalis Claire Torry dalam lagu 'The Great Gig in the Sky.' Dengan suara Torry yang melengking tinggi dan bernada soul, lagu ini mengisahkan tentang metafora kematian.

Jangan kaget ketika Anda mendengar suara sang biduanita berteriak tanpa henti seolah menggambarkan suasana menjelang kematian. Di akhir lagu, teriakan itu mereda seraya dibalut kelembutan dan ditutup dengan alunan piano Wright.

MONEY

Dimulai dari bebunyian mesin kasir, ini sebagai pertanda bagian awal dari lagu 'Money'. Lagu pertama di sisi kedua ini mengangkat tema keserakahan dan jiwa konsumerisme yang bisa ditimbulkan oleh uang. Hal ini digambarkan dengan lirik sindiran dan efek suara uang di lagu tersebut.

'Money' adalah lagu yang paling sukses secara komersial di album 'Dark Side of the Moon.' Lagu ini juga dibawakan oleh Pink Floyd saat reuni--dengan formasi aslinya--dalam konser amal Live 8 di London.

US AND THEM

Sementara lagu kedua di sisi kedua adalah 'Us and Them.' Di lagu ini, Pink Floyd ingin menggambarkan kesedihan yang disimbolkan oleh konflik dan dikotomi sederhana untuk mendeskripsikan hubungan pribadi. Dalam lagu ini, bisa didengarkan permainan piano Wright yang menghipnotis dengan suara vokalnya nan lembut.

Proses rekaman lagu 'Us and Them' sempat diabadikan dan menjadi bagian dari footage di video 'Pink Floyd Live in Pompeii.' Dalam video itu tampak Richard Wright memainkan lagu 'Us and Them'--yang masih berupa demo tape--menggunakan piano dengan diiringi instrumen lain yang sudah direkam sebelumnya.

ANY COLOUR YOU LIKE

Kemudian, lagu 'Any Colour You Like' menyambut di pengujung lagu 'Us and Them'. Lagu ini mengisahkan tentang makin sedikitnya pilihan seseorang di masyarakat, tentunya terkait kehidupan. Di lagu ini, permainan synthesizer begitu mendominasi. Tanpa vokal, hanya instrumen yang mengalun.

BRAIN DAMAGE

'Brain Damage' langsung mengalun usai lagu 'Any Colour You Like'. Diawali dengan petikan gitar Gilmour, lagu ini menceritakan tentang penyakit mental yang dipicu oleh popularitas dan kesuksesan di atas kebutuhan dirinya sendiri. Lirik "and if the band you're in starts playing different tunes (ketika bandmu mulai bermain dengan nada yang berbeda)" menggambarkan guncangan kejiwaan yang dialami Barret.

ECLIPSE

'Kegilaan' dalam album berdurasi 43 menit tersebut ditutup dengan alunan lagu 'Eclipse'. Dengan nuansa yang berangsur mencapai klimaks, lagu ini mengusung konsep alteritas dan kesatuan sehingga memaksa pendengarnya untuk mengenali nilai luhur dari manusia.

Di akhir rekaman, terdengar samar-samar suara manusia berbicara. "There is no dark side of the moon, really. As a matter of fact, it's all dark (Sejatinya, tidak ada bagian gelap dari bulan. Faktanya, semuanya gelap)," ujar suara tersebut.

Sebagai sebuah konsep album, 'Dark Side of the Moon' digarap dengan sangat matang. Seluruh aspek merata, baik dari segi musik, lirik maupun tema. Jika bisa dibilang, album yang dirilis pada 1 Maret 1973 ini bukan hanya sebuah konsep album, melainkan masterpiece. Sebuah magnum opus bagi dunia musik.

RAS/2732015
#PinkFloyd #DarkSideoftheMoon #DavidGilmour #RichardWright #NickMason #RogerWaters #SydBarret

Kala Pink Floyd Membawa Pendengar ke Sisi Gelap Bulan

(ki-ka) Nick Mason, David Gilmour, Roger Waters, dan Richard Wright

MUSICOLOGY - Bukan tanpa alasan sejumlah pengamat menyebut Album legendaris 'Dark Side of the Moon' yang diciptakan Pink Floyd sebagai salah satu album rock terbaik sepanjang masa.

Ya, pencapaian album tersebut--dalam angka--memang sangat mengagumkan. Bayangkan, album itu telah terjual lebih dari 50 juta kopi, 15 tahun berturut-turut di tangga lagu Billboard, posisi 10 besar di hampir seluruh polling album terbaik.

Dengan pencapaian itu, pionir musik psychedelic rock tersebut telah mengubah cara pandang masyarakat dalam membuat dan mendengarkan album tersebut.

Sekadar kilas balik, seiring dengan hengkangnya pentolan band, Syd Barret di akhir dekade 1960-an, Pink Floyd pun mengubah arah bermusik mereka. Nuansa psychedelic yang diusung Barret memang masih ada, namun lebih kompleks dan berat.

Melalui serangkaian rekaman yang rumit dan eksperimental, keempat punggawa Pink Floyd--Roger Waters (bass, vokal), David Gilmour (gitar, vokal), Richard Wright (kibor, vokal), dan Nick Mason (drum)--menghubungkan tema-tema pribadi dengan musik bernuansa luar angkasa.

Seluruh tema tersebut digodok secara matang dan menjadi materi ciamik untuk album 'Dark Side of the Moon'. Album itu sendiri dirilis pada Maret 1973.

Dengan tema konsep album berdurasi keseluruhan 43 menit, Pink Floyd menyajikan sebuah masterpiece dan magnum opus tentang kematian, kegilaan dan sindrom pascaperang bagi anak-anak yang hidup pada dekade 1950-an.

Di sisi lain, album itu merupakan tribute untuk sang pionir band, Syd Barret, yang mengalami masalah kejiwaan dan tenggelam dalam kegilaan.

Tak hanya itu, album 'Dark Side of the Moon' juga menjadi tribute untuk generasi usia 20-an tahun yang sedang mencari jati diri dan tujuan hidup.

Album ini memang tidak selalu memilik jawaban dari pertanyaan masyarakat. Namun, album ini bisa membawa Anda tenggelam dalam kegilaan ala Pink Floyd.

Kesepuluh lagu yang dikemas apik dalam album tersebut memiliki karakter dan dasar yang kuat. Mulai dari suara detak jantung yang mengawali lagu 'Speak to Me' hingga lagu 'Eclipse' yang menjadi klimaks dari album tersebut.

Selain itu, album legendaris ini juga menginspirasi dan menjadi dasar musikalitas para musisi kekinian.

Sebut saja, Radiohead yang tidak sengaja 'menjiplak' musik ekspermintal dan kompleks ala Pink Floyd. Ada pula band psychedelic rock, Flaming Lips yang melakukan cover album 'Dark Side of The Moon' pada 2009.

Ingin tahu cara mendengarkan album 'Dark Side of the Moon'? Anda dengarkan lagu-lagunya melalui headphone. Tutup mata dan bayangkanlah Anda tengah berada di set film luar angkasa, '2001: A Space Odyssey' karya Stanley Kubrick.

RAS/2732015

Thursday, 26 March 2015

Lennon dan Ono, Serukan Kedamaian dari Tempat Tidur


MUSICOLOGY - Banyak pasangan baru menikah menghabiskan bulan madunya di sebuah tempat nan eksotis dan romantis. Jauh dari bising dan keramaian.

Nah, tampaknya hal-hal itu tidak berlaku bagi pasangan pentolan The Beatles, John Lennon dan istri keduanya, Yoko Ono yang menikah pada 20 Maret 1969 di Gibraltar.

Betapa tidak, mereka menghabiskan bulan madunya selama sepekan dengan melakukan kampanye 'Bed for Peace' yang dimulai pada 25 Maret 1969.

Seperti dilansir dari laman Ultimate Classic Rock, setelah pernikahan mereka, John dan Yoko memesan sebuah kamar kelas presidential suite di Hilton Amsterdam, Belanda.

Kamar tersebut mereka dekorasi dengan tulisan tangan di atas tempat tidur. Tulisannya 'Hair Peace' dan 'Bed Peace'. Mereka juga mengundang wartawan ke kamar untuk berdiskusi soal isu kedamaian selama 12 jam per hari.

"Kami mengirimkan kartu undangan 'Datanglah ke bulan madu John dan Yoko di tempat tidur, Hotel Amsterdam'," tutur pria kelahiran Liverpool 9 Oktober 1940.

Menurut John, selebritis harusnya melihat wajah para wartawan ketika berjuang di depan pintu.

"Pemikiran mereka penuh dengan hal-hal yang akan terjadi. Mereka berjuang dengan cara mereka sendiri," ungkap John.

John mengatakan dirinya dan Yoko bagaikan dua malaikat di tempat tidur. Bunga-bunga di sekeliling pasangan itu. Tulisan 'Peace' dan 'Love' di kepala mereka.

“Kami berpakaian. Tempat tidur cuma pemanis. Kami mengenakan piyama seperti yang kami pakai. Tidak ada lagi yang ingin kami tunjukkan. Kami 'telanjang'," kata John.

Bukan tanpa alasan mereka memilih Amsterdam untuk berkampanye agar pesan yang hendak disampaikan tersebar.

Seperti yang dikatakan Yoko kepada seorang wartawan, "Kami mengganggap Amsterdam merupakan tempat yang sangat penting dan cocok untuk melakukan kampanye itu."

Menurut Yoko, warga Amsterdam memiliki ketertarikan yang sangat segar dan kuat terhadap kampanye itu.

"Kami berpikir, daripada memicu perang, lebih baik kami diam di tempat tidur. Masyarakat sebaiknya diam di tempat tidur dan menikmati musim semi," ujar wanita asal Jepang ini.

Kepada wartawan Belanda, John memuji Kota Amsterdam. Menurut John, Amsterdam merupakan tempat yang indah.

"Banyak muda-mudi di Amsterdam. Banyak ide yang dimiliki mereka. Jika kami bisa menginspirasi generasi muda tersebut, kami ingin melakukannya dengan cara yang damai," kata John.

Ide kampanye damai di tempat tidur selama sepekan dan membiarkan rambut tumbuh panjang dinilai sebagai suatu hal yang bodoh dan absurd

Namun, pasangan itu mengakui memang absurditas itu merupakan bagian dari rencana mereka.

“Seorang penulis surat kabar Daily Mirror sempat bertanya apakah dia bisa lebih sering menaruh foto Yoko dan saya untuk halaman depan surat kabar," ujar John.

“Dia berkata dia tidak pernah tertawa seperti ini selama hidupnya. Itu bagus. Justru hal itu yang kami inginkan," terang John sambil berkelakar.

Seiring berjalannya waktu, kini kamar yang digunakan oleh Lennon dan Ono di Hilton Amsterdam itu dinamakan 'John and Yoko Suite' dan didekorasi dengan memorabilia.

Dan, kamar itu disewakan dengan tarif 2.400 dollar AS per malam, atau sekitar Rp31,1 juta (kurs Rp12.989).

Dua bulan kemudian, Lennon dan Ono melakukan kampanye kedua di tempat tidur di Hotel Queen Elizabeth, Montreal, Kanada. 

Mereka merekam lagu 'Give Peace a Chance' dengan sejumlah tamu undangan suka rela.

Beberapa tahun lalu, Ono merilis potongan dalam film dokumenter berdurasi 70 menit yang berjudul Bed Peace.

RAS/2632015

Wednesday, 25 March 2015

The Who, Menolak Tua Meski Sudah Senja

(ki-ka) Pete Townsend, Roger Daltrey, Keith Moon, dan John Entwistle
MUSICOLOGY –  "Pernahkah kalian membayangkan sebuah klub sepak bola memainkan dua pertandingan secara berturut-turut? Nah, itu yang mereka harapkan dari kita, dan kita melakukannya," ujar vokalis The Who, Roger Daltrey, mengomentari konser dua malam berturut-turut yang digelar merayakan milad ke-50 band rock itu.

Malam kedua konser tersebut digelar di London O2 Arena, Inggris, Senin (23/3/2015). Lokasi merupakan venue yang sama ketika band legenda lainnya, Led Zeppelin, mengelar reuni pada 2007—tentunya tanpa kehadiran sang drummer John Bonham yang meninggal pada 1978.

Usia memang tidak bisa dibohongi. Daltrey sudah tidak muda lagi. Kerutan sudah tampak jelas di wajahnya. Pun demikian dengan personel lainnya, sang gitaris Pete Townsend. Kendati begitu, mereka tetap atraktif meski dibatasi oleh fisiknya nan renta.

Konser tersebut merupakan rangkaian tur mereka yang bertajuk 'The Who Hits 50!'. Dan, tur ini disebut-sebut sebagai konser terakhir The Who seraya menutup lembaran eksistensi mereka selama lima dekade mengguncang blantika musik dunia.

Malam itu di London O2 Arena, publik seolah melewati lorong waktu. Maklum, band yang kini hanya menyisakan Daltrey dan Townsend tersebut membawakan hampir seluruh hits mereka, sebut saja I Can’t Explain, My Generation, dan lainnya.

Konser diawali dengan lagu ‘I Can’t Explain’. Di lagu ini, suara gitar Townsend meraung-raung. Penampilannya pun tak  kalah garang. Seolah, Townsend ingin menunjukkan bahwa lagu tersebut telah lahir lebih dulu ketimbang para penonton yang ada malam itu.

Keriuhan publik malam itu berlanjut ketika Townsend memulai intro lagu ‘Substitute’. Beberapa kali, Townsend berteriak dan mengerang. Bila diartikan, mungkin Townsend sedang berteriak, “Heii, saya sudah kehilangan energi sekarang .”

Tak hanya musik garang yang disuguhkan malam itu, sisi artistik panggung pun layak diacungi jempol. Betapa tidak, visual efek yang bernuansa psychedelic kontan menghipnotis penonton. Belum lagi foto-foto band semasa dulu membawa penonton bernostalgia.

Townsend dan Daltrey diiringi oleh band yang beranggotakan enam personel. Jika dilihat, tampaknya mereka siap menuruti perintah The Who untuk memainkan lagu sebanyak mungkin. 

Ada kesedihan juga yang termaktub dalam konser tersebut. Pasalnya, The Who kurang lengkap tanpa John Entwistle (bass) dan Keith Moon (drum). Ya, keduanya sudah meninggal.

Entwistle meninggal  akibat serangat jantung usai memakai kokain pada tahun 2002. Sementara Keith Moon—sang drummer yang terkenal destruktif, ‘gila’ dan permainnya yang memukau—tewas pada tahun 1978 akibat overdosis alkohol.

Nah, sebelum membawa lagu ‘My Generation’, Townsend mengenang  Entwistle. Sementara sebelum lagu ‘So Sad About Us’, Daltrey sempat mengenang Moon. “Moon merupakan penggemar fanatik Beach Boys. Dia meninggalkan The Who untuk Beach Boys," kelakar Daltrey.

Ada kenangan lain dalam konser tersebut. Salah satunya ketika mereka syuting The Rolling Stone’s Rock and Roll Circus. “Kita sangat bersenang-senang saat mengikuti produksi tersebut,” ujar Townsend.

Lalu, konser pun berlanjut dengan lagu-lagu seperti ‘I'm One’ and ‘Love Reign O'er Me’ dari album ‘Quadrophenia’, kemudian ‘Eminence Front’ dari album ‘It’s Hard’.

Nah, yang paling ditunggu-tunggu, tentunya lagu-lagu dari album rock opera The Who ‘Tommy’. Mereka membawakan hits-hits dari album tersebut, seperti ‘Amazing Journey’,  ‘Sparks’ dan ‘Pinball Wizard.’ Penonton pun tak henti-hentinya terpukau.

Malam itu, Townsend dan Daltrey menolak tua. Meski tidak seatraktif dulu, The Who memainkan setiap lagu dengan volume yang sangat keras. Gaya ‘kincir angin’ masih dilakukan oleh Townsend—kendati putarannya rada kendur. Sementara teriakan Daltrey masih membahana.

Terkait teriakan Daltrey, sejatinya, konser tersebut digelar pada Desember 2014. Namun, karena Daltrey terpapar infeksi tenggorokan, rangkaian konser tersebut ditunda.

Akhirnya, setelah lagu ‘Baba O’Riley dan ‘Won’t Get Fooled Again’, ada komentar mengharukan yang dilontarkan oleh personel The Who. “Terima kasih telah setia bersama dan mendengarkan kami selama bertahun-tahun.” ujar Daltrey menutup ‘petualangan’ malam itu.

“Hope i’ll die before I get old.” Kutipan lirik dari lagu ‘My Generation’ itu tampaknya tidak cocok disematkan untuk dua personel The Who yang tersisa. Hingga kini mereka masih menginspirasi para rocker muda, meski usianya sudah senja.

RAS/26032015

Tuesday, 24 March 2015

Firth of Fifth, Ketika Keindahan Komposisi Musik Mengalahkan Lirik

(ki-ka) Tony Banks, Phil Collins, Mike Rutherford, Steve Hackett dan Peter Gabriel
MUSICOLOGY - 'Lupakanlah permainan kata-kata yang bersemayam dalam lirik sebuah lagu. Namun, resapilah keindahan aransemen dan instrumentasi yang menjadi tonggak dari lagu tersebut.'

Tampaknya, inilah pesan yang ingin disampaikan oleh Tony Banks, kibordis band rock progresif Genesis, saat menciptakan lagu masterpiece bin monumental, 'Firth of Fifth'.

Bahkan, Banks mengatakan lirik lagu yang ada di album 'Selling England by the Pound' (1973) itu merupakan yang terburuk selama karier bermusiknya.

Simak saja lirik 'The mountain cuts off the town from view. Like a cancer growth is removed by skill.' Kutipan lirik tersebut dinilai cenderung berlebihan alias lebay.

Memang, keindahan lagu tersebut tidak terletak pada liriknya, tapi permainan para musisi Genesis yakni Peter Gabriel (vokal, flute), Mike Rutherford (bass, gitar), Steve Hackett (gitar), Tony Banks (piano, kibor) dan Phil Collins (drum, perkusi).

Di bagian awal lagu, misalnya, pendengar sudah dibuat terpukau dengan permainan piano klasik Tony Banks yang indah dan menawan.

Lalu, harmoni dan irama rock progresif yang menghentak di bagian utama. Kemudian, kelihaian para personel lainnya menyambut 'umpan' nada yang diberikan oleh Banks dalam lima menit terakhir lagu tersebut.

Nah, di bagian pamungkas lagu tersebut, para musisi Genesis membuat pendengarnya 'orgasme'. Bayangkan, melodi gitar Hackett yang menyayat dengan tone bagaikan suara biola, permainan drum Collins yang keras namun inovatif dan sound futuristik dari kibor Tony Banks.

Ya, musik yang mereka mainkan dalam lima menit tersebut memang jauh lebih indah dan menggetarkan jiwa jika dibandingkan lirik konyol yang disebutkan oleh Banks tersebut.

Wajar, dengan komposisi ciamik tersebut, lagu ini disebut-sebut sebagai anthem atau lagu wajib bagi para penikmat rock progresif.

Tadinya, lagu tersebut mengacu kepada sebuah sungai bernama Forth di Skotlandia dan berjudul 'Firth of Forth'. Namun, entah kenapa judul itu diganti menjadi 'Firth of Fifth'

Meski disampul album tertulis lagu itu diciptakan oleh seluruh anggota band, sebagian besar komposisinya dibesut oleh Tony Banks.

Sebenarnya, cetak biru lagu tersebut sudah ditulis pada 1972 ketika Genesis tengah menggodok album 'Foxtrot'. Namun, ketika diajukan, lagu tersebut ditolak.

Kemudian, lagu tersebut diaransemen ulang untuk menjadi salah satu nomor di album 'Selling England by the Pound'.

Meski liriknya konyol dan buruk, lagu tersebut dipuji banyak kritikus musik. Kebanyakan dari mereka memuji permainan piano klasik Banks dan solo gitar Hackett di lagu tersebut.

Salah satu pujian datang dari penulis rock, Edward Macan. "Lagu ini merupakan 9.30 menit terbaik yang pernah diberikan oleh Genesis," tutur Macan.

Bahkan, Hackett sangat mengidolakan lagu tersebut. "Ini seperti kembaran saya. Hingga kekinian, saya masih menikmati memainkan lagu tersebut. Ini adalah solo gitar yang sangat bagus," tutur gitar beraliran klasik tersebut.

'Firth of Fifth' hingga kekinian menjadi salah satu lagu wajib Genesis dalam setiap konsernya. Dan, lagu ini sangat dinanti para penggemar di saban penampilan Genesis.




Berikut lirik dari 'Firth of Fifth':


The path is clear

Though no eyes can see
The course laid down long before.
And so with gods and men
The sheep remain inside their pen,
Though many times they've seen the way to leave.


He rides majestic

Past homes of men
Who care not or gaze with joy,
To see reflected there
The trees, the sky, the lily fair,
The scene of death is lying just below.


The mountain cuts off the town from view,

Like a cancer growth is removed by skill.
Let it be revealed.
A waterfall, his madrigal.
An inland sea, his symphony.


Undinal songs

Urge the sailors on
Till lured by sirens' cry.


Now as the river dissolves in sea,

So Neptune has claimed another soul.
And so with gods and men
The sheep remain inside their pen,
Until the shepherd leads his flock away.


The sands of time were eroded by

The river of constant change.

RAS/2532015
#Genesis #PeterGabriel #PhilCollins #MikeRutherford #TonyBanks #SteveHackett

Ozzfest Japan, Penampilan Terakhir Black Sabbath?

(ki-ka) Geezer Butler, Tony Iommi, Bill Ward dan Ozzy Osbourne


MUSICOLOGY - Black Sabbath dipastikan tampil dalam perhelatan musik metal Ozzfest Japan yang bakal digelar 21 dan 22 November 2015.

Namun, dalam pernyataannya, sang penyelenggara Sharon Osbourne menyebutkan bahwa konser ini merupakan 'perpisahan' untuk Black Sabbath.

Lho, apa maksud pernyataan istri dari pentolan dan vokalis Sabbath, Ozzy Osbourne, tersebut? Berikut cuplikan videonya:



"And this will be Black Sabbath's farewell," tutur manajer Black Sabbath itu dalam video promo yang ditayangkan di situs Youtube.

Sebelumnya, media mensinyalir Ozzfest Japan menjadi konser terakhir band beranggotakan Ozzy Osbourne (vokal), Tony Iommi (gitar), Geezer Butler (bass), dan Bill Ward (drum) ini. Namun, terlalu dini untuk menyimpulkannya.

Hingga akhirnya, keluarlah pernyataan Sharon dalam Youtube. Nah, pertanyaannya besarnya adalah perpisahan untuk apa?

Jika benar itu adalah konser terakhir, bukankah penting bila kabar tersebut diinformasikan di akun Facebook atau situs resmi Black Sabbath?

Sebagai tambahan, Sabbath sudah berencana membuat album terakhir dan menggelar tur. Namun, tidak ada jadwal yang jelas terkait keduanya.

Tampaknya, fakta sebenarnya adalah konser tersebut merupakan perpisahan Sabbath dengan penggemarnya di Jepang. Tapi, perpisahan untuk apa?

Yang terang, tidak ada konfirmasi dan jadwal yang jelas kapan konser terakhir Sabbath digelar. Ya, mungkin hanya Tuhan dan Sabbath yang tahu.

RAS/2532015
#BlackSabbath #OzzyOsbourne #SharonOsbourne

'HOCUS POCUS' FOCUS


MUSICOLOGY - Belum lama memang saya mengenal band progressive rock asal Belanda, Focus. Namun, ketika kali pertama mendengarnya, sempat terbersit pertanyaan dalam benak saya.

"Gila, band apa ini? Dan dari planet apa mereka? Ternyata Belanda punya band sehebat ini," kata saya ketika melihat penampilan mereka yang membawa lagu berjudul 'Hocus Pocus.'

Sejatinya, tempo lagu 'Hocus Pocus' sedang. Namun, di penampilan live di salah satu acara televisi di era 70-an itu, lagu tersebut dibawakan dengan tempo cepat.

Entah disengaja atau mereka memang terbawa derasnya aliran adrenaline ketika membawakan lagu tersebut. Yang terang, di setiap penampilan live mereka, lagu itu dibawakan ngebut.

'Hocus Pocus' memang lagu Focus yang menurut saya paling dikenal di kalangan masyarakat. Lagu ini terdapat di album kedua Focus, 'Moving Waves', yang dirilis pada 1971.

Setelah dirilis, 'Hocus Pocus' menembus posisi 20 di tangga lagu Inggris, nomor 18 di Kanada dan nomor 9 di Amerika Serikat selama musim gugur 1973.

Lagu ini diawali solo gitar dengan kord rock garang dan menggigit dari gitaris Jan Akkerman. Uniknya, di setiap penampilannya, Jan selalu bermain nyeleneh sehingga menimbulkan nada fals pada gitarnya.

Ada yang menarik dalam permainan Jan Akkerman. Dia merupakan salah satu gitaris rock dengan pengaruh klasik yang sangat kental.

Dia pula yang mempopulerkan teknik sweep picking dengan sangat cepat. Nah, kecepatan gitaris edan ini bisa dilihat dalam penampilannya saat memainkan lagu 'Hocus Pocus.'

Betapa tidak, dia telah melakukan teknik gitar shredding jauh sebelum teknik tersebut populer. Ya, 20 tahun sebelumnya Jan sudah melakukannya.

"Mungkin dia memang dari planet lain. Tangannya cepat saat melakukan teknik sweep picking." Mungkin itu yang dikatakan para penonton yang melongo melihat permainan Jan.

Jan memang bukan satu-satunya orang gila di band tersebut. Ada pula Thijs van Leer yang merupakan pemain flute, kibord, dan organ dalam band tersebut. Dia juga pentolan Focus.

Dalam lagu 'Hocus Pocus', dia mempertontonkan kemampuannya ber-yodeling dengan range vokal yang tinggi. Dia juga bersiul dengan nada yang tinggi pula. Wow!

Uniknya, Thijs bukanlah vokalis. Dia tidak pernah bernyanyi selama tampil bersama Focus. Dia hanya bersiul, beryodeling dan meracau.

"Focus tidak perlu vokalis. Tanpa vokalis pun, Focus sudah hebat. Apalagi jika ada vokalis," ujar salah seorang penonton.

Menurut saya, dua orang tersebut, Jan dan Thijs, merupakan otak dalam band Focus. Ya, tanpa mengesampingkan peran dua personel lainnya yang memang datang silih berganti.

Mungkin Focus tidak dikenal di kalangan anak muda zaman sekarang. Mungkin pula nama Focus ini hanya harum di antara para penggemar berat progressive rock.

Yang terang, 'Hocus Pocus' merupakan sebuah masterpiece dari musik progressive rock. Dan, Focus adalah legenda.

RAS/2432015
#Focus #ProgressiveRock